Friday, April 22, 2011

Kelenteng Tjo Soe Kong

Hari Kamis yang lalu (2011-4-21), bertepatan dengan rangkaian libur Paskah yang Bebek dapat selama 3 hari (Rabu, Kamis putih, Jumat agung), Bebek akhirnya menjalankan  rencananya untuk berkunjung (lagi) ke Kelenteng Tjo Soe Kong di tepi pantai Tanjung Kait, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang. Sudah lama sekali Bebek tidak pergi ke Kelenteng ini. Terakhir kali pergi ke sana (mungkin) sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Bebek ingat dulu waktu masih kecil, mungkin akhir 1980-an dan awal 1990-an, Papa Mama Bebek cukup sering membawa Bebek ke Kelenteng ini. Dan sebagai anak kecil maupun remaja, Bebek terbiasa mengikuti semua ritual atau tradisi tanpa bertanya ini-itu (Bebek bukanlah seorang anak yang kritis). Cerita turun temurun mengenai sejarah Kelenteng ini pun Bebek dengar secara sambil lalu. Bebek bahkan tidak pernah tahu sejarah Kongco Tjo Soe Kong yang Kelentengnya kami kunjungi. ^^ Begitulah. Lalu akhir tahun lalu, tiba-tiba saja Bebek teringat dengan Kelenteng ini dan memiliki keinginan untuk berkunjung kembali. Mungkin karena Bebek banyak mengenang masa-masa bersama Mama, dan Kelenteng ini merupakan salah satu bagian dari kenangan Bebek bersamanya. Bahkan pada tahun-tahun terakhirnya, Mama memiliki keinginan untuk berkunjung ke Kelenteng Tanjung Kait ini setelah dia sembuh dari sakitnya. Ehmm..., waktu itu Bebek tidak tahu kenapa dia memiliki keinginan untuk pergi ke sana setelah sembuh dari sakit. Ternyata (mungkin) karena sejarah dari Kongco Tjo Soe Kong. 

Perjalanan kali ini membuat Bebek ingin mengetahui lebih banyak sejarah mengenai Kelenteng Tanjung Kait dan Kongco Tjo Soe Kong. Kemajuan teknologi membuat kita bisa lebih mudah mendapatkan berbagai keterangan. Tapi sayang sekali, Om Google pun tidak  memberi banyak info  mengenai sejarah Kelenteng ini. Mungkin seharusnya Bebek tanya-tanya pada Encek Biokong di sana =_= bukannya tanya Om Google yang berasal dari barat. Hahaha, ironis. Tapi bagaimanapun Bebek mendapatkan cukup banyak info mengenai Kongco Tjo Soe Kong.

Gerbang Kelenteng Tjo Soe Kong
Kelenteng Tjo Soe Kong
Kelenteng Tjo Soe Kong diperkirakan dibangun atau sudah dibangun pada tahun 1792 karena pada tahun tersebut Andries Teisseire, seorang pelaut Barat mencatat adanya kelenteng ini. 
"Keberadaan bangunan tua tidak lepas dari catatan sejarah. Begitu juga dengan Kelenteng Tjo Soe Kong yang telah mengiringi perkembangan wilayah ini selama 216 tahun. Sejak dibangun pada tahun 1792, kontruksi kelenteng itu tidak berubah.
Dua pagoda setinggi enam meter di depan kelenteng menjadi ciri tersendiri Kelenteng Tjo Soe Kong ini. Dua pagoda yang dibangun bersamaan dengan dibangunnya bangunan kelenteng hingga kini sama sekali belum pernah dipugar. Selain itu, batu berbentuk nisan pemberian dari seorang warga Negara Perancis, Andreas, masih terawat rapih di dalam kelenteng. Batu nisan ini dibawa langsung dari Tiongkok pada saat kelenteng mulai dibangun." (Sumber dari sini)
Sayang sekali Bebek belum tahu mengenai batu berbentuk nisan ini pada saat berkunjung ke sana, jadi tidak sempat bertanya atau melihatnya. Penghormatan terhadap Tjo Soe Kong ini konon dirintis oleh para petani tebu di Tionghoa yang kemudian bermukim di Mauk, Tangerang. Pada zaman dulu Kelenteng ini masih berbentuk gubuk sederhana, dan menjadi awal pusat komunitas masyarakat di Mauk.

Seperti juga Kelenteng-kelenteng tua yang lainnya, Kelenteng Tanjung Kait ini juga memiliki "cerita kehebatannya" di masa lalu.  Pada tahun 1883, ketika letusan Gunung Krakatau menyebabkan terjadinya Tsunami di sepanjang pesisir pantai Tanjung Kait, semua yang berada di dekat pantai terendam banjir, kecuali kelenteng ini. Kelenteng ini telah banyak menyelamatkan banyak penduduk yang berlindung di tempat ini. Kisah luput dari Tsunami Krakatau ini diabadikan dalam lagu gambang Kramat Karam. (Sebagai tambahan, Kramat merupakan nama daerah di dekat Kelenteng). Bebek belum pernah mendengar lagu ini, tapi dari judulnya bisa berarti Kramat termasuk dalam daerah yang terkena banjir Tsunami. Kejadian ini juga diceritakan turun temurun dari orang tua ke anak, sebagian besar generasi angkatan orang tua Bebek (lahir tahun 1940-an dan generasi sebelumnya) di daerah Tangerang mengetahui kisah hebat ini dan masih menceritakannya kepada anak-anaknya. Waktu Papa-Mama membawa Bebek ke sini, mereka juga pernah menceritakan mengenai kejadian banjir besar yang menenggelamkan daerah di sekitar Kelenteng. Tapi mungkin generasi Bebek dan generasi setelah Bebek tidak banyak lagi yang tahu atau mau mengingat mengenai kisah ini. 

Menurut beberapa sumber yang Bebek baca, setelah tahun 90-an dan 2000-an jumlah umat yang datang ke Kelenteng ini menurun drastis, tapi pengurus yayasan tetap berusaha mengembalikan masa kejayaan Kelenteng ini, antara lain pada tanggal 14-16 Desember 2007 diadakan Perayaan Shejit Kelenteng dengan berbagai atraksi festival Barongsai, bazaar rakyat, gambang kromong, wayang potehi dan wayang kulit. Lalu pada tanggal 3 Desember 2008 yang juga bertepatan dengan Shejit dilakukan peletakan batu pertama oleh putra Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah untuk membangun gazebo dan taman air di halaman depan Kelenteng. Pada saat Bebek datang berkunjung, kolam air ini sudah selesai dibangun. 

Pada saat Bebek datang ke sini waktu kecil, memang banyak sekali umat yang datang bersembahyang, Bebek ingat halaman depan kelenteng yang cukup luas dipenuhi mobil-mobil. Dan yang paling meninggalkan kesan memang ada banyaknya pengemis di sekitar Kelenteng. Setiap kali ada yang memberikan uang kepada salah satu pengemis ini, teman-temannya langsung mengerubungi kami. Ini membuat Bebek takut. Biasanya setelah bersembahyang, kami pergi ke tepi pantainya untuk makan es kelapa muda. ^^

Pada saat Bebek berkunjung kembali, Bebek memang sengaja tidak datang pada saat ada perayaan atau pada saat Ce-it atau Cap-goh, karena Bebek tidak terlalu suka bersembahyang di tengah keramaian dan juga tidak terlalu tahan dengan asap hio yang memedihkan mata. Pengunjung yang ada pada saat itu awalnya hanya ada Bebek, setelah Bebek selesai sembahyang ada juga 2 orang umat lainnya yang baru tiba. Encek Biokong yang ada di sana dengan ramah mau "mengajari" dan memberitahu rute bersembahyang. Karena di Kelenteng ini selain ada Dewa Tjo Soe Kong, juga ada dewa-dewa lain. Termasuk juga ada Dewa-dewi lokal, yaitu Dewi Neng dan Empe Dato. Menurut Bebek ini merupakan bukti bahwa sejak berabad-abad yang lalu, masyarakat Tionghoa di Tangerang khususnya sudah berbaur dan memiliki hubungan yang sangat baik dengan masyarakat setempat.

Keadaan kelenteng saat Bebek datang sangat bersih dan terawat baik, beberapa pengemis masih bertaburan di halaman depan kelenteng. Tapi mereka hanya duduk-duduk atau tidur-tidur karena memang Kelenteng sangat sepi. Di samping kelenteng ada kios-kios yang tutup, Bebek rasa kalau datang pada hari libur Sabtu Minggu atau pada saat Ce-it atau Cap-goh barulah ada banyak yang berjualan di sana. Satu hal yang membuat Bebek kecewa adalah tidak ada tukang es kelapa muda di tepi pantai. Padahal sejak berangkat Bebek begitu bersemangat untuk makan kelapa muda dari tempurungnya di tepi pantai. Pruk pruk pruk.... khayalan Bebek hancur dalam sekejap. ~.~ Tidak ada pantai yang bisa dilihat, memang dari awal Bebek berpikir pantai Tanjung Kait memang bukanlah pantai yang cantik seperti pantai-pantai yang lain. Terakhir kali ke sana pun, pantai ini sudah sangat kotor. Kali ini Bebek agak lupa di mana letak pantainya dan bertanya kepada beberapa penduduk, mereka menunjukkan bagian pantai yang tidak terlihat seperti pantai. T_T Ada banyak bangunan gubuk penduduk di sekitar pantai, tidak ada pantai yang terhampar luas ataupun tukang es kelapa muda. Huhuhuhu... mungkin karena memang bukan hari libur atau karena Bebek berada di sisi pantai yang bukan untuk wisatawan? Entah. 
Oh ya, di dekat Kelenteng Tjo Soe Kong juga ada kelenteng Chi-kung yang lebih kecil. Bebek melihat dan mengunjunginya dalam perjalanan mencari pantai. 

Kelenteng Tjo Soe Kong
Salah satu pengemis yang berada di halaman Kelenteng

Kolam Air di depan halaman Kelenteng Tjo Soe Kong
Kolam air
Foto diambil hari Kamis, 20 April 2011, antara pukul 13:20 - 14:10

Sumber referensi: 

Kometar atau tambahan informasi mengenai kelenteng Tjo Soe Kong, akan diterima dengan senang hati sebagai bahan perbaikan tulisan. ^^

2 comments:

  1. Hallo Bebek,
    Surprised! Anda cerita mengenai Kelenteng Tjoe Soe Kong seperti terasa kedekatannya dengan kehidupan papa dan mama anda.
    Saya juga mencari sejarah dan chronoogy yang sebenarnya dari kelenteng yang salah satu pendirinya adalah leluhur saya yang keturunan dan silsilahnya ditelah tsunami akibat letusan Gunung Krakatau ini pada tahu 1883.
    Terima kasih atas ceritanya.
    Salam
    Grace

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo Grace,
      Terima kasih sudah mampir.
      Salam,
      Bebek

      Delete