Wednesday, August 22, 2012

Apakah kau percaya cinta?

Setelah sekian lama tidak mengotori blog ini dengan keluhan dan pemikiran tidak jelas, akhirnya.... saya kembali.

Topik malam ini, atau tepatnya dini hari ini, (karena masih dalam masa libur Idul Fitri, boleh dong saya begadang memanfaatkannya dengan menjadi wanita malam), topik kali ini adalah masalah cinta (lagi???) Xixixixixi....

Kurang lebih satu jam yang lalu, saya baru saja berkata dengan keyakinan yang dibuat-buat, tapi tetap dengan tatapan mata yang lurus ke lawan bicara saya yang tidak percaya dengan cinta, "saya percaya". Arrrghhh, untuk pertama kalinya, benar-benar pertama kalinya saya sanggup berkata dengan tegas, "saya percaya bahwa cinta itu ada". Sebelumnya selalu ragu-ragu antara mau percaya atau tidak.

Oh ya, kata "cinta" yang saya maksud di sini mengacu kepada definisi "cinta antara laki-laki dan perempuan, cinta yang egois, cinta yang mengharapkan kembali". Jadi, untuk penekanan, saya selalu percaya dengan keberadaan cinta yang universal,cinta yang jauh dari kata egois, cinta kepada semua makhluk, semacam cinta Ibu kepada anaknya. Tapi sebaliknya, saya selalu ragu dengan keberadaan cinta antara lawan jenis, cinta dalam pernikahan, cinta yang pamrih. Walaupun, jauh di dalam hati kecil saya, ada keinginan untuk percaya.

Kembali ke pernyataan awal saya di dini hari yang indah ini. Awal saya mengucapkannya,memang hanya karena saya tidak mau kalah dalam perbicaraan. Hahahaha, sudah sifat yang sulit sekali diubah, saya cenderung tidak mau kalau kalau dalam berbicara (untuk topik tertentu). Saya kesal dengan cara lawan bicara saya mengungkapkan ketidakpercayaannya kepada cinta, dengan gaya mencemooh mereka yang percaya kepada cinta dan dengan maksud untuk meremehkan pernikahan. Karena kesal dengan pernyataannya, saya hanya ingin memberikan perlawanan untuk menutup mulutnya. Setelah saya menyatakan kepercayaan saya, dengan demikian saya menyatakan "kita tidak satu kubu dalam masalah ini", dia membalas dengan: "terus, sudah dapat?". Jleb! Wkakakakaka, rasanya perempuan yang bahkan tidak sanggup mempertahankan laki-laki yang disukainya tidak pantas mengucapkan percaya dengan kata cinta ya.

Tapi, justru setelah mengucapkannya, saya baru merasa saya mengucapkan kejujuran. Kalau biasanya saya selalu bilang tidak percaya dengan cinta, rasanya pada saat itu, saya hanya sedang mengungkapkan ketakutan diri sendiri. Bagaimana kalau saya percaya dan saya tidak pernah menemukan cinta saya? Bagaimana kalau saya mencintai dan tidak dibalas dengan dicintai pula? Ketakutan dan kekhawatiran semacam itu membuat saya enggan untuk mengungkapkan keinginan saya untuk percaya. Bagaimanapun saya hanya manusia biasa, saya sering kali bersikap munafik.

Untuk mendukung pernyataan "percaya cinta" tadi saya berusaha menyusun dalam otak kecil saya, "cinta yang bagaimana yang saya percaya?" Saya mulai dengan kalimat umum "di dunia ini tidak ada yang kekal", ya memang, manusia berubah, perasaan juga berubah, dalam situasi ketidakkekalan ini, bagaimana mungkin ada yang namanya cinta? Kalau hari ini tergila-gila, besok bisa saja merasa bosan, kemudian perasaan hangat dan berdebar-debar itu hilang, bukankah dengan demikian cinta itu memang tidak ada? Sebagai manusia kadang kita tidak selalu cocok dengan karakter orang-orang di sekeliling kita, bagaimana mungkin menerima satu orang dengan segala kelemahan dan kelebihannya untuk seumur hidup? Pasti ada saatnya kita bosan dan muak dengan orang tersebutkan? Apalagi kalau tinggal satu rumah. Pertengkaran pasti tidak terelakkan.

Tapi, hanya karena saya tidak pernah merasakannya, bukan berarti "sesuatu itu tidak ada", saya berpikir dengan sederhana, "hanya karena saya tidak pernah merasakan menjadi seorang milyarder, bukan berarti saya bisa mengatakan di dunia ini tidak ada milyarder". Karena kenyataanya, dunia begitu luas, kehidupan manusia beraneka ragam, nasib setiap manusia berbeda sesuai dengan perbuatannya. Kalau begitu, siapakah saya, yang berhak mengatakan, di dunia ini tidak ada cinta? Pemikiran ini, walau terkesan dipaksakan, tapi cukup membuat diri saya sendiri puas. Pasti ada. Saya percaya di dunia ini ada laki-laki dan perempuan yang saling mencintai dengan seimbang.

Memang yang lebih terlihat adalah pasangan-pasangan yang saling mengeluh, pasangan-pasangan yang berselingkuh atau diselingkuhi, pasangan-pasangan yang bercerai, pasangan yang 'cape ati' dengan pasangannya. Saya rasa, salah satu sebabnya juga karena, biasanya kita lebih mengingat penderitaan orang lain, misalnya ada orang curhat tentang pasangannya yang selingkuh, manusia cenderung mengingat kemalangan orang tersebut, kemudian menceritakannya kembali berulang-ulang, sehingga semua orang tahu, tapi pada saat seseorang curhat tentang betapa bahagianya dia bisa menikah dengan seseorang, cerita terhenti di tangan pertama atau tangan ke dua, tidak diceritakan berulang-ulang sampai seluruh kampung tahu. Cerita kebahagiaan tidak cukup menarik untuk dijadikan bahan obrolan, kalau pun diceritakan, paling hanya diulang 1-2 kali.

Lalu, kalaupun ada kisah cinta yang diceritakan berulang-ulang, itu pun harus kisah cinta yang "wah", yang saking "wah"-nya terkesan sangat tidak realistis. Tidak semua orang bisa menjadi cinderela, atau menjadi Romeo-Juliet atau menjadi Edward-Bella. Tidak semua orang bisa jatuh cinta, selalu saling memahami, tanpa tergoda untuk tidak setia, dan hidup bahagia selamanya. Cinta yang realistis yang saya percaya bukanlah cinta antara si miskin dengan si kaya, bukan cinta laki-laki kepada perempuan yang diselamatkannya dalam cerita superhero, kemudian berbahagia selamanya, bukan pula cinta yang harus menghadapi maut sebagai cobaan, maaf deh, saya lebih suka hidup yang damai dan tenang, bukan perang antar keluarga atau perang vampir. :D

Saya juga tidak percaya cinta pada pandangan pertama, saya bahkan tidak percaya jika ada pasangan yang berpacaran 1-2 tahun, kemudian mereka mengklaim saling mencintai. Tapi saya percaya cinta bisa tumbuh dan menjadi semakin mantap seiring dengan berjalannya waktu. Cinta pada pandangan pertama hanya nafsu, tidak lebih. Tapi kalau saya melihat ada suami istri yang masih bersama sampai kakek-nenek dan tidak saling membenci, maka saya percaya mereka saling mencintai. Kalau suami-istri bertahan satu sama lain, bertahan dengan keegoisan masing-masing pihak, tetap mempertahankan kebersamaan setelah pertengkaran karena sama-sama merasa benar sendiri, tapi tetap berusaha memaafkan pasangannya dan beberapa kali harus menelan ego-nya agar tetap bertahan bersama, karena berpisah dengan pasangannya jauh lebih berat daripada merendahkan diri, nah inilah cinta yang saya percaya. Bukan cinta di negeri dongeng.

Sampai saat ini, saya belum pernah mencintai seorang laki-laki, juga belum pernah dicintai. Rasanya masih terlalu dini bagi saya untuk berkata cinta. Tapi semoga, saya akan menemukan seseorang yang akan bertahan melewati 50 tahun selanjutnya bersama saya. Saling menyemangati, saling bertengkar, saling menelan harga diri,saling menyakiti dan berusaha saling memaafkan, dan saling berusaha menahan godaan. Walau ada banyak laki-laki dan perempuan lain yang jauh lebih baik daripada saya dan dirinya, tapi berusaha saling setia. Kalau saya menemukan laki-laki semacam ini, setelah 50 tahun kebersamaan kami, barulah saya bisa mengatakan "kami saling mencintai".

Beruntunglah mereka yang pernah merasa dicintai dan mencintai. <3